Senin, 27 Juni 2011

Ijtima Cikampek. Laporan Pandangan Mata Bathin. ;)

Senin tanggal 20 Juni 2011, Maja, salah seorang penggiat dakwah cara Nabi saw di region Beji Depok, datang khususi ke istana sewaan saya di Kuku San.Beliau dihantar oleh Allah swt dengan asbabnya seorang mahasiswa bernamaaaaaa....lupa ! ( Lupa ! Lupa..lupa lupaaa...lupa lupa namanyaaa.....  ;D ). Dengan wajah sumringah ( biar suffah, harus tetap sumringah. Aaaaaaahhhhh...) kusambit...eeh kusambut beliau. Setelah duduk di lantai yang begitu mewah, beliau langsung kargozari bahwa beliau baru saja keluar 40 Hari, gerak di Sumedang. Dan beliau juga bilang karena imannya lemah gak bisa khuruj 4 bulan. Statemen dia langsung kutanggapi," Udah deh kagak usah nyindir gitu..!" Hiihiiihii. Kalo ngomong sama Aa Gun, kagak usah pake basa basi deh. Ketahuan dari air mukanye. Hehehe. Aa tau, mana ekspresi wajah tulus, mana yang melecehkan, mana yang sopan n menghormati 100 % dan mana yang menghormati tapi setengah hati. :P

Akhirnya beliau langsung to the point ajah. Bahwa bentar lagi ada ijtima dan mengharapkan saya bisa hadir. Saya katakan oke aja, nunggu rezeqi dari langit. Hiihiihii. Perbincangan tidak begitu lama durasinya. Dan namanya juga Maja,  seorang Betawi asli. Meski sempet menahan-nahan untuk tidak narghib, akhirnya keceplosan juga narghib. Dia bilang, kalau menurut Maulana Saad, science itu syirik. Hohoho. It's oke. No problemo. I agree ajalah. Hahaha... Kalau dah masalah targhib menarghib sih..buat gue..ENJOY ajaaaa...Termasuk kalau dapet petuah dari "Suku" Stangkle. Qeqeqe. Saya sudah lama membiasakan diri mendengarkan apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Walaupun keluar dari mulut seorang preman, asalkan itu bicara masalah agama, saya akan mencoba mendengarkan. Sebaliknya meski yang bicara itu bergelar S 7T, tapi kalau bicaranya masalah dunia, insyaAllah akan tetap saya dengarkan, walaupun disambi sambil makan kacang. Haahaahaaa. Tapi saya juga pernah menarghib keras sama anak-anak suku Stangkle itu. Bahkan pernah hampir menggampar muka ( sekalian menghajar juga ben kapok..! ) salah seorang di antara mereka yang berinisial "M".  Jadi inget dulu, tahun 2009 saat keluar 40 hari di Bali ( dari jord BSD ). Lah gimana, dia yang paling ngejos, kalau narghib isinya nyela dunia mulu, tapi realitanya,dalam berinteraksi sehari-hari, masih ngliat dunianya. Di jamaah kami yang ke Bali saat itu, ada Pak Buyung. Selama dalam perjalanan, anak-anak suku Stangkle ini kalau manggil Pak Buyung, ya Buyung aja. Seperti kawan sebaya aja. Padahal dari segi umur, selisihnya jauh banget. Awalnya saya ga begitu peduli, sebab Pak Buyung sendiri juga tak masalah. Tapi, lama kelamaan, kebiasaan anak-anak mantan preman itu, amat mengganggu perasaan saya. Saya lihat Pak Buyungnya sendiri juga mulai tak enjoy, meski dia berusaha menahan diri. Saya bisa tahu dari roman mukanya. Ekpresi wajah dan gestur tubuh itu sudah memberi informasi. Di 2-3 masjid pertama saat di Bali, saya sempat mengingatkan mereka bahwa ada baiknya kalau manggil orang yang lebih tua itu dengan kata sandang yang pantas. Apalagi sama orang tua seperti Pak Buyung, sekaligus da'i ahli mujahadah lagi ( sekarang sudah hafizh qur'an 30 juz lagi. Saat di Bali masih sekitar 15-an Juz. Apa gak hebat tuh?? Mantan pecandu sekaligus bandar heroin, bisa melakukan quantum leap setinggi itu... ) . Apa sulitnya sih menambahkan kata "Pak"?? Toh dalam setiap mudzakarah kan diajarkan dan selalu diulang-ulang, bahwa penting bagi sesama muslim, apalagi da'i yang sudah sering keluar, untuk meningkatkan kualitas akhlaq, salah satunya dengan saling memuliakan. Buat apa kita bermuka manis dan mengeluarkan koleksi kata terbaik saat jaulah atau untuk mencari tasyqilan baru ( atau bahkan kepada orang-orang kafir dengan alasan "ikrom" ), sementara kepada sesama da'i sendiri malah "tegang" dan bahkan mungkin memenuhi standar akhlaq minimal da'i pun tidak??? Apalagi di beberapa hadits yang saya baca, salah satu sifat nifaq adalah tidak mau menghormati orang yang lebih tua.
Saya sampaikan ini dalam mudzakarah. Beberapa di antara mereka mau menerima saran saya, cuma ada 1-2 orang yang agak berat, salah satunya ya si "M" ini. Terlihat dari kontraksi rahangnya yang keliatan mulai mengeras. Saya sengaja pandangin dia saat itu. Tuh anak langsung pergi sambil sedikit meracau ( ngomongnya sih pelan, dia pikir saya gak denger, padahal saya mendengar apa ucapan dia ), " Jangan terkesan makhluukk...!"
Setelah mudzakarah, jamaah yang muda-muda, yang dari stangkle juga, mulai memanggil Pak Buyung dengan kata "Pak", kagak polos lagi. Termasuk juga si "M" ini. Cuma, entah karena ga terbiasa, atau belum sepenuh hati, dia manggil Pak Buyung dengan pakai kata Pak, kalau pas ada saya aja. Kalau saya pas ga ada, dia kembali ke habit semula. Saya tahunya ya, satu kali saat jamaah sedang mengadakan "mudzakarah" informal, si M ini manggil Pak Buyung tanpa "Pak". Saya gak ikut "mudzakarah" itu dari awal. Nah pas saya join, bersamaan dengan si M yang lagi mangil-manggil Pak Buyung dengan namanya saja. Saya sebenarnya pas mergokin dia kayak gitu, ga terlalu mau ambil pusing. Tapi kemudian akhirnya saya menjadi "naik pitam", setelah melihat tingkah si "M" yang seketika berubah 180 derajat, begitu ada karkun Anshar yang nusroh bawa mobil. ( salah seorang karkun khawas n masih muda, yang maqominya dekat Bandara Ngurah Rai di Kabupaten Badung. Di karyawan sebuah hotel bintang 5 di Maldive. Saat itu sedang cuti jadi bisa nusroh. Dan dia baru beberapa kali keluar 3 hari ) Si "M" ini begitu sopan nan lembut menyapa karkun anshar itu, dengan panggilan "Mas". Saat itu juga, saya langsung targhib si M ini. Kagak pake basa basi. Menghadapi kaum stangkle yang ga bisa basa basi, ya tidak perlu basa basi. Langsung hajar..!! Saya bilang," Kenapa tadi kamu manggil Pak Buyung, cuma pake namanya aja, Buyung Buyung?? Kok beda  amat  sama karkun anshar ini?? Apa karena Pak Buyung itu 'pengangguran' dunia yang ga punya mobil??" ( kalimat pertanyaan persisnya saya lupa ). Tapi, saya inget persis, si M ini diem aja. Dan karkun anshar yang khawas itu pun masih ada di tempat dan mendengar omongan saya. Si anshar sempet ada perasaan gak enak. Untung Pak Buyung cepet-cepet mendinginkan suasana. Hahaha.
Khuruj 40 hari ke Bali & Lombok ( saya hanya ikut yang di Bali ) tahun 2009 silam, ini merupakan khuruj yang paling tidak sukses dalam sejarah perkhurujan saya. Itu adalah satu-satunya khuruj 40 hari yang tidak tuntas saya jalani.  Yaa gimana, jamaah berantakan gitu. Bukan cerita aib nih, mudah-mudahan insyaAllah ( kan ga sebut nama... ;D ). Saya bergabung dengan jamaah ini, niat awal memang betul-betul ingin memperbaiki diri. Apalagi memang saya dah lama gak keluar. Bukan faktor destinasinya. Ekspektasi saya amat besar terhadap jamaah ini. Apalagi di jamaah ini, ada penggerak-penggerak dakwah di halaqah ( Tim Stangkle. Bahkan amirnya ( alumni stangkle juga ) juga baru selesai 4 blan IPB. Tapi yaah. Emang dari awal berangkat aja ( sejak bayan hidayah di lokasi jord BSD ) dah kacau balau. Apalagi pas di Bali. Beberapa jamaah suka ninggalin jamaah tanpa bilang-bilang. Ngakunya khususi, kenyataannya pergi diam-diam ke pantai. Amirnya pun akhirnya juga ikut-ikutan. Ninggalin jamaah diam-diam, malah "cuci mata" ke pantai.  Pak Buyung yang senior aja, tidak berdaya. Akhirnya saat di satu masjid, saya bilang ke anak-anak Stangkle itu, saya mau ikut ke pantai, tapi buat dakwah ( memori kembali ke tahun 1999, saat pertama kalinya keluar 40 hari sama Ustad Aslam ke Lombok. Sempat jaulah di pantai ). Anak-anak stangkle ini awalnya berat hati mengajak saya. Tapi akhirnya saya dibolehkan ikut. Dengan meminta ijin amir lebih dulu ( karena sebelumnya gak pake ijin-ijinan ), kamipun berangkat. Saat keluar dari masjid ( berangkat naik motor, dianter karkun anshar ) sih kami masih berpakaian sunnah lengkap. Tapi, baru beberapa ratus meter, tiba-tiba anak-anak stangkle itu menghentikan  motor. Dan tahu tidak apa yang dilakukan?? Mereka mencopot semua baju sunnahnya dan menggantinya dengan baju pantai ( celana pendek dan kaos ). Mereka juga sempet memaksa saya untuk mengganti baju. Saya tidak mau, apalagi saya gak bawa tas dan baju ganti. Saya tanya apa alasannya, kan kita dah sepakat, ke pantai mau buat dakwah. Kenapa "seragam" dakwahnya malah dicopot?? Jawaban mereka adalah karena lokasi dakwahnya di Bali. Dan apalagi beberapa waktu sebelumnya kan, ada bom meletus di Marriot. Saya tetap tidak terima dengan argumen mereka. Nah, yang paling ngotot ya si "M" ini. Saya pun gak mau kalah ngotot. Kalau perlu baku hantam sekalian. Apa-apaan ini. Niat dakwah apa rekreasi? Udah gitu atribut sunnah dicampakkan?  Saat itu saya betul-betul marah sekali, sampai ke ubun-ubun. Asli benar-benar marah. Seumur-umur saya baru sekali itu  bisa semarah itu. Gimana gak marah besar saya. Lha mereka ini khan yang paling ngejoz di halaqah. Kemana-mana pakai gamis dan sorban. Nishab paling terjaga. Lantas di mana letak "kebesaran" Allah yang selama ini mereka gembar gemborkan?? Dan si "M" ini, sebelum berangkat 40 hari ke Bali, sebelumnya telah keluar 4 bulan sebelum jord. Namun pada akhirnya geng stangkle itu mengalah. Termasuk para dalil yang orang anshar, yang tadinya mendukung pihak stangkle. Kami pun lalu melanjutkan perjalanan. Sampai di pantai, kami jalan seperti biasa. Anak-anak stangkle itu berusaha berjalan agak jauh dari saya ( dan seolah-olah gak kenal saya. Lha pas saya ajak ngomong, njawabnya aja males-malesan gitu )  karena saya satu-satunya yang pakai gamis. Memang sih, turis-turis di pantai itu ( ada bule, ada orang Jepang n Korea ) pada ngliatin saya. Tapi setelah itu mereka cuek. Nah lho. Para turis asing aja gak mempermasalahkan, kok "para da'i" ini malah mempermasalahkan??  Siapa sebenarnya yang masih terkesan sama makhluq?? Dan satu hal lagi yang bikin saya amat kesal, terutama kepada si "M" ini. Mereka ini seringkali berlindung di balik hadits, yang mereka jadikan tameng untuk membenarkan aksi mereka. Di setiap musyawarah ( dan juga mudzarkarah ), si "M" ini selalu bilang, jangan suka melihat aib jamaah, jangan mencari-cari kesalahan jamaah dan lain-lain. Tapi di sisi lain, dia  justru yang paling sering meninggalkan jamaah secara diam-diam ke pantai.
Hoohooo kok jadi kargozari tentang Bali yak??? Ga papalah. Itung-itung nostalgila. Yah, di kemudian hari, saya berusaha memaklumi behaviour suku stangkle ini. Saya selalu menekankan pada diri sendiri dan tidak melupakan latar belakang historis mereka. Mereka sudah kenal dakwah dan meninggalkan dunia hitam aja, sudah amat amat bagus. Jadi wajarlah tingkah polah mereka seperti itu. Termasuk jangan mengharapkan mereka terlalu banyak agar bisa mengamalkan tata krama kelas sosialita. Mayoritas mereka bukan dari kalangan educated ( ada sih yang educated, tapi cuma SMA/ SMK ). Justru yang harus dipertanyakan adalah, da'i-da'i dari kalangan high educated, Yang seringkali masih pake standar dunia saat memuliakan manusia. Contohnya saya. ( Tapi alhamdulillah, saya yang cuma alumni 4 bulan lokal, tidak pernah memanggil orang [ apalagi da'i ] yang lebih tua dari saya, hanya dengan namanya saja.  Saya gak pernah manggil Pak Buyung dengan manggil namanya saja. Juga kepada karkun-karkun lain yang kere, nganggur, ga punya maqomi tetap. Dulu ada namanya Pak Marhadi, yang sering i'tikaf di markaz halaqah Mandor Eti. Saya lihat dia pribadi yang ikhlas dan tulus. Entah dimana kabar dia sekarang ( kabarnya sih 'diusir' dari halaqah hanya karena sang empunya halaqah tidak tahan dengan tekanan dan "lobi'-lobi" ibu-ibu pengajian ). Saya gak pernah manggil dia Marhadi saja. Kalau beberapa karkun stangkle dan beberapa karkun halaqah, ada yang manggil dia namanya saja ( padahal dari segi umur ya jauh ). Dan adalagi karkun yang dari Vietnam itu. Alhamdulillah saya gak pernah manggil dia cuma nama saja. 
Memang kalau mencari rujukan nash, apakah itu ayat qur'an atau hadits, gak ada yang mengatakan agar kita memanggil orang yang lebih tua dengan panggilan Pak, atau abang, atau mas. Tetapi yang diperintahkan oleh nash adalah, anjuran agar kita menghormati orang yang lebih tua dari kita, tanpa pandang bulu. Di jaman Nabi dan para shahabat, coba kita lihat. Nabi dipanggil Abul Qasim. Abu Bakar, namanya aslinya bukan Abu Bakar. Itu adalah nama panggilan kehormatan. Pun shahabat-shahabat yang lain. Hanya orang-orang kafir dan munafiq saja yang suka memanggil Nabi saw hanya menyebut namanya saja.
So, seyognyalah kita sebagai "calon da'i"  bisa menampakkan ekspresi akhlaq yang paling baik. Ekspresi yang tulus, dari dalam hati dan penuh kesadaran, bukan setelah ditarghib. Orang yang beramal dengan berlandaskan iman dan punya inisiatif, akan menampakkan aura positif yang luar biasa. Berbeda sekali jika beramal setelah ditarghib atau mbaca artikel. Biasanya kesannya hambar ( karena terpaksa ..)


*********************************************************************************


Lanjut ke ijtima Cikampek yah. Nah, selang satu hari setelah kunjungan Pak Maja, saya ditelpon Abdullah, seorang karkun asli Depok Tanah Baru yang punya anatomi tubuh mirip orang Bangladesh. Beliau lagi gerak sama Abu Umair dan Pak Rahmatillah ( keduanya penggerak andalan halaqah Depok Beji ) selama 40 hari di wilayah sekitar lokasi Jord. Abdullah narghib sedikit ke saya, supaya menghairi jord. Saya katakan, iya insyaAllah. 


Di hari Kamis tanggal 23 Juni, malam jum'at, saya berangkat ke markaz naik KRL. Sempet tanya ke Maja, gimana cara menuju Cikampek. Maja kasih tahu, naik kereta dari stasiun Kota trus disambung naik kereta ke arah Cikampek. Nah pas sampai di stasiun Kota pukul 21-an, saya coba cari info dengan nanya ke seorang petugas loket. Tapi jawabannya kurang jelas. Akhrinya saya cari lagi dengan melihat-lihat jadwal-jadwal kereta. Kalau kereta yang khusus trayek Cikampke, ya kagak ada. Adanya ya kereta klas ekonomi arah ke Jawa dan arah Bandung.


1 komentar:

  1. assalamu'alaikum,
    maaf mau tanya kalau lokasi ijtimai cikampek kalau naik bus dari arah tangerang turunya kemana ya?
    Jzakumullah khair

    BalasHapus